Bismillaah,
Hai semuaa,,, apa kabar sahabattt??
Semoga selalu bahagia yaa… hehe…
Nah, jadi ceritanya udah lamaa banget gak nulis. Draft hanya ada judulnya saja. Jujur, pasca kampus membuat saya malas nulis, maklum, banyak juga antrian pekerjaan hehe. Pekerjaan apa kira-kira? Nah baiklah, langsung saja kita lihat jalan ceritanya.
Kuliah Kerja Nyata, disingkat KKN. Sebenarnya malas sekali menuliskan alur KKN yang menurut saya “amburadul”, tidak tertata sama sekali dan menyebalkan.
Tapi, saya tetap punya cerita unik dan hikmah yang dipetik. Singkat saja, dari KKN itulah makna hidup benar-benar terjadi. Alhamdulillah, masih lebih sering makan nasi daripada makan hati, haha. Yah, begitulah. Alur panjang perkenalan, dari mulai muncul rasa takut, kecewa, biasa aja, duka, nestapa, bahagia. Campur-campur intinya.
Mulai dari perkenalan. Sebagai anak “pinggir lampu merah” (karna fakultasnya memang di situ wkwk) yang sendirian di tim itu, rasanya malas sekali untuk kembali berkenalan dengan orang-orang baru. Katanya, KKN itu membawa keahlian. Begitulah saya di awal. Membawa apa saja yang bisa dibawa. Singkatnya, pulang-pulang bawa titel bendahara.
Takuttt… AKU TAKUT dengan suasananya. Kegalakan dari “pawang kampung”, masuk-masuk langsung kena marah. Jujur, takut dan kecewa menjadi satu. Sudah menjadi mahasiswa tapi tidak punya etika. Begitulah kiranya dalam pandangan mereka. Satu, dua, tiga terlewati. Sampai akhir, siapa yang masih takut? Bukan aku tentunya. Bermula dari takut, berakhir dengan akrab. Iya. Kondisi berubah secepat itu. Satu, dua, tiga minggu, ketakutan berlalu. Pernah suatu ketika suntuk sekali di pondok, keluarlah ke serambi. Beliau sedang menyapu dan mengepel lantai. Bercakap-cakaplah kami, menghadirkan hangat.
Kapan aku sedih? Kapan duka? Kapan nestapa? Rahasia! Haha. Aku sudahi semuanya setelah nilainya keluar wkwk. Begitulah. Begitu kerasnya “hidup sebenarnya”. Begitu sesaknya dunia tanpa kelapangan dada. Begitu rapuhnya diri tanpa kokohnya keyakinan. Begitu sedihnya hati tanpa ada sinar mentari. Sesekali aku memandangi jendela lantai dua di pagi hari. Masih sama? Tidak! Setiap hari ada pemandangan berbeda di terminal itu. Dalam hati “aku pasti akan selalu mengenang semuanya”. Begitu sendu. Setiap malam, di jalan itu, selalu kupandangi temaram lampu. Begitu haru. Harus ikhlas. Harus tawakkal. Harus tetap berjalan. Sorenya bagaimana? Senja di sungai. Di gardu-gardu yang terkadang sangat sunyi. Kapan akan ramai? Saat bersama anak-anak! Iya. Anak-anak adalah salah satu alasan untuk selalu ceria. Mereka berlarian tanpa beban. Tapiii, sebentar, tanpa beban? Aku hanya sering melihat mereka marahan. Entah, harusnya mereka berbahagia, tapi konflik-konflik kecil tak dapat dipungkiri juga. Apalagi kita yang sudah dewasa??
Akhirnya, aku bahagia. Dari semua rangkaiannya, aku bahagia. Aku bahagia dengan ibu keduaku di sana. Aku bahagia dengan ayah keduaku di sana. Aku bahagia dengan teman keduaku di sana. Aku bahagia dengan dosen keduaku di sana. Aku bahagia dengan adik keduaku di sana. Aku bahagia dengan sosok kedua di sana. Aku bahagia dengan replika-replika dari “hidup artifisial” yang pernah dan sedang tidak kumiliki di sana. Hidup sesungguhnya. Hidup yang penuh tertawa. Terima-Terima-Tertata-Tertata-Menerima-Menerima hatinya.
Bagaimana dengan kalian? Begitulah semoga … 🙂