Ini adalah episode empat dari perjalanan menuntut ilmu ke Jawa Timur. Siang itu, rencana pulang ke kampung halaman terpaksa dibatalkan untuk memenuhi agenda dadakan. Survei!
Malam berikutnya, sampailah kami berenam di suatu tempat. Gelap! Bingung harus tidur di mana. Akhirnya, kami diarahkan ke kediaman Mas Rahmat. Rumah Singgah Banyuwangi, Stasiun Karangasem, Kota Banyuwangi. Yah, tanpa diduga-duga tim kreatif kami telah membawa misi rahasia: menginap di tempat yang cukup fantastis ini. Pasalnya, rumah yang digadang-gadang menjadi tempat tidur kami ternyata sudah dihuni oleh petualang-petualang lain.
Paginya, barulah kami bisa menempati tempat singgah yang lebih “layak”. Kenapa saya tanda kutip? Layak di sini bukan berarti kondisinya baik, tetapi sangat baik. Fyi, sewa rumahnya gratis soalnya. Sewa rumah gratis dengan fasilitas bombastis kan cukup menarik, bukan? Sampai berkhayal, kapan ya punya rumah banyak kayak gini tapi disewakan secara cuma-cuma ke orang lain? Yups, ini adalah inspirasi luar biasa dari sosok Mas Rahmat yang memberikan sewa rumah secara cuma-cuma kepada para pelancong.
Namun, pagi itu kami hanya sebentar sekali di rumah baru. Siap-siap menuju pusat pemerintahan kabupaten sebelah. Situbondo. Butuh waktu sekitar tiga jam untuk sampai di pusat kabupaten. Dan well, inilah kegiatan kami di sana. Mulai dari datang ke Kesbangpol, dinas-dinas pemerintahan seperti Bappeda, PUPR, Pertanian, dsb. Cukup menguras tenaga dan waktu juga tentunya. But, overall is okey! Kami kembali ke rumah singgah di tengah malam (lagi) akibat padatnya jadwal hari itu.
“Yuk ke Ijen! Tapi diem-diem aja…” Tim kreatif kami kembali bersuara.
“Boleh-boleh” Timpal yang lain
Tapi, semua hanya wacana belaka hehe. Iyalah, wong kita kan survei, masa iya mau main hehe. Tapi, meski rencana tersebut batal, kunjungan ke Banyuwangi tetap berkesan. Bumi “Oséng” itu memberikan nuansa berbeda. Bahasanya saja sudah beda meski sama-sama Bahasa Jawa. Pokoknya patut dicoba deh menjelajah ke sana.
Selain pengalaman muter-muter di pusat pemerintahan Kabupaten Situbondo yang melelahkan, cuss tidur sepertinya lebih menarik daripada meneruskan perbincangan yang tidak berguna di malam itu. Eitss! Tunggu dulu! Ternyata rumah yang harus kami huni malam ini hanya berisi satu ruangan dengan dua bed tempat tidur. Padahal, kami berenam dengan dua perempuan dan empat laki-laki. Sangat tidak mungkin sekali untuk tidur dalam satu ruangan.
Untung saja, di bumi Allah yang satu ini, saya ditemani oleh teman-teman yang paham adab. “Bapak-bapak” alias teman laki-laki kami akhirnya tidur di teras luar, di tengah udara dingin yang menusuk-nusuk dan ditemani nyamuk-nyamuk beterbangan. Yah, itulah perjuangan mereka. Perjuangan dalam menjaga kehormatan kami, para perempuan. Termasuk perjuangan mereka menjaga diri mereka sendiri dari perbuatan maksiat.
Aturan malam itu benar-benar ketat. Mereka hanya diperbolehkan masuk ke dalam rumah (karena kamar mandinya ada di dalam rumah) ketika sudah terlebih dahulu mengetuk pintu dengan keras dan seusai kami mempersilakan masuk. Tentu saja kami harus bersiap dengan penutup aurat. Alhamdulillah malam terakhir di Banyuwangi itu kami lalui dengan aman dan damai tanpa ada hambatan. Namun, di sepertiga malam terakhir saya terbangun gara-gara ada suara “letusan” gunungapi (mungkin) sekaligus gempa. Haduuhhhh!!! Ya Allah saya berpasrah kalau harus mati di sini. Pas mau lari, teman perempuan di samping saya langsung bilang “Mba, itu kan suara kereta api dari atas sana”. Wah, untung saja bukan gempa dan letusan gunung guys! Hanyalah bunyi kereta api yang menuju ke Stasiun Karangasem. Kebetulan rumah yang kami tempati ada di bawah bukit tempat rel kereta api dihamparkan. Maklum, belum pernah tidur di dekat rel kereta, sekalinya ada suara kereta langsung kaget hehe.
Yah itulah sedikit cerita hari ini, Kawan. Semoga dapat menjadi inspirasi dan diambil pelajarannya.
#YukMenulisAja