Bumi Allah

Hari itu, aku bahagia.  Saat di mana petualangan baru dimulai dan kesabaran diuji. Menjelajah wilayah baru bukanlah hal mudah. Butuh perjuangan, tekad yang kuat, dan keyakinan akan berhasil di sore nanti. Rumah demi rumah dijajaki demi secarik kertas yang terisi tinta basah. Namun, sayangnya hari itu jugalah yang membuat air mata meleleh. Bisa dibilang semua emosi kesedihan hadir tapi ada secercah syukur di sana.

Matahari mulai merendah kala itu, lalu terdengar sayup-sayup adzan. Bumi Allah yang satu ini mengajarkan arti kesabaran dan keprasahan yang luar biasa. Dalam kondisi kaki yang terseret, langkah demi langkah mengantarkan pada tempat di mana air mengalir membasahi semua anggota wudhu.

Meski harus terlambat, sujud demi sujud mengantarkannya kepada satu masa di mana isak tangis menghiasi suasana malam itu. Tangan diangkat dan kemudian berdoa agar dimudahkan semua, agar dimudahkan dalam memaafkan kejadian-kejadian lampau. Doa itu juga yang kemudian menjadi saksi bahwa aku pernah menginjakkan kaki di Bumi Allah dengan sejuta kenangan.

Bukan suatu hal yang mudah untuk bisa sampai di sini. Butuh waktu yang panjang, lika-liku penuh tantangan. Ada tawa dan tangis meliputinya. Ada harapan dan ada kalanya muncul rasa ingin menyerah. Pada akhirnya hanya satu hal yang kuyakini, bahwa Allah adalah Rabb pemilik hati seluruh hamba-Nya.

Usai sudah pengharapan dalam doa-doa itu. Masih dengan kondisi yang cukup menyakitkan, melangkahlah kaki itu kepada seorang petani tulen. Sembari mengingat jalan menuju rumahnya, hanya keyakinan bahwa semua usaha pasti akan berhasil, yang membuat sepeda itu terus terkayuh. Sampailah tubuh ini ke rumah beliau. Muka sembab yang sudah tidak asing lagi, terpampang nyata di depanku. Dalam hati berkata “Apakah doa-doa itu membuat Bapak menangis pula?” Ah… aku tidak malu-malu dan tanpa basa-basi mulai mencari apa yang harus dicari. Kita sama-sama bermuka sembab, kita sama-sama baru saja keluar dari ruangan penuh pengharapan. Kita sama-sama berharap, hari esok adalah hari yang cerah.

Lega sudah setelah melewati gang kecil itu. Akhirnya pengharapan menjadi sesuatu yang kenyataannya mulai tampak. Semua mata tertuju pada kesemrawutan kondisi diri yang sudah lelah. Hanya seuntai senyuman yang diberikan. Cukup mengobati rasa sakit. “Aku tidak apa-apa”, pikirku. “Aku bahagia”, dekapan itu lalu muncul. Aku senang. Aku mensyukuri semuanya. Hingga akhirnya luapan itu hadir kembali setelah melewati separuh perjalanan. Bersama salah seorang sahabat, tumpahan butir-butir dari bola mata membasahi pipi sembari mengisahkan semuanya. Satu kalimat yang terukir indah dan akan selalu kuingat adalah “Ini semua sudah takdir… dan aku mensyukurinya” “Ini semua sudah takdir… dan aku mensyukurinya”…

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.