Semua Itu Karena Sebuah Amanah

Selamat malam semua…

Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh 🙂

Bagaimana kabar hari ini? Semoga kita semua selalu dalam kondisi baik dan sehat walafiat yaa, amin 🙂

 

Malam ini saya akan mencoba merefleksikan tutur kata dari salah satu dosen FMIPA yang baru saja saya kunjungi. Petuah beliau amatlah sederhana tapi mengena. Berawal dari beberapa kalimat yang membuat diri ini tersadar bahwa hidup tidak semudah yang kita pikirkan. Saya simpulkan bahwa “semua itu karena sebuah amanah”. Ya, semua berawal dari amanah yang diberikan kepada kita semua dan utamanya adalah karena saya seorang mahasiswa, maka amanah disini adalah amanah sebagai seorang mahasiswa, Lantas, apa sih sebenanya amanah itu? Seberapa beratnya to, sampai-sampai kita harus bekerja keras?

Singkat cerita, kunjungan ini adalah kunjungan tak terduga yang kemudian saya ikuti. Tenyata apa yang kemudian terjadi? Masyaallah, saya bertemu dengan orang yang sangat tepat di saat saya merasa kehilangan motivasi. Pokok bahasan kami mulai dengan sebuah permohonan agar sang dosen menceritakan kisah masa lalunya ketika menjadi aktivis kampus. Lalu sampailah pada tutur kata beliau yang menceritakan banyak sekali hal-hal terkait dunia kampus berikut tantangannya, Poin penting yang dapat saya ambil pada bagian ini yang kemudian akan saya jabarkan adalah mengenai satu hal, yakni amanah.

Jadi, begini kawan. Kita sebagai seorang mahasiswa dituntut untuk tidak hanya berkutat pada akademik, tetapi juga tidak boleh terlalu menyepelekan akademik. Semua harus berjalan seimbang dan melalui keseimbangan itulah maka kita akan menjadi seorang yang sukses nantinya. Untuk menjadi seimbang memang tidak mudah, kawan. Akan tetapi, jika kita tidak dapat seimbang, maka secara otomatis kita akan mengorbankan salah satu dari keduanya. Itu artinya, jika sang mahasiswa sangat aktif dalam kegiatan ekstra kampus dan dia tidak pernah mau bekerja lebih keras, maka nilai akan hancur dan akhirnya risiko paling buruk adalah di DO. Sebaliknya, jika sang mahasiswa terlalu berkutat pada akademik, maka dia akan jatuh saat bertemu dengan dunia luar yang luar biasa atmosfernya.

Lalu, bagaimana seharusnya kita bersikap dengan semua kenyataan ini? Toh kita memang sepertinya tidak akan mampu. Eitss, tunggu dulu, kawan? Ingat satu amanah yang secara tersirat telah dititipkan dari orang tua ke kita. Amanah apa itu? Yaitu amanah untuk lulus kuliah tepat waktu dan dengan nilai yang maksimal. Siapa yang tidak bangga dengan keberhasilan anaknya? Tidak ada, bukan? Lantas, ada satu hal yang mengganjal, “tapi saya kan sibuk di luar”. Hmm, inilah kunci keberhasilan yang harus kita dapat saat berada pada kondisi seperti pertanyaan tersebut. Kuncinya adalah bekerja lebih keras!

Seperti apakah bekerja lebih keras itu? Padahal kan kita banyak praktikum, harus ikut aktif di kegiatan dakwah kampus, kegiatan BEM, HMJ, UKM, dan sebagainya. Sang dosen tadi menjawab dengan sangat tegas bahwa “bedakan antara sibuk dengan produktif!” Pada intinya, belajar tidak hanya berada di dalam kelas saja, melainkan di saat kita berorganisasi pun itu sudah termasuk belajar, khusus bagi mahasiswa yang benar-benar memaknai suatu organisasi itu adalah belajar. Jika mahasiswa tidak menganggap bahwa organisasi itu bukan media pembelajaran ya sudah, selesai riwayatnya, tamat!

Selanjutnya, bagian yang paling menohok adalah tutur kata sang dosen yang mengungkapkan sebuah kekeliruan besar yang dilakukan mahasiswa-mahasiswa (aktivis) selama ini. Istilah yang sampai sekarang terngiang-ngiang adalah “aktivis organisasi sekarang ini hanya ‘grudak-gruduk/ ubyang-ubyung’, alias hanya lari kesana lari kesini tanpa tujuan yang jelas. Mereka para aktivis himpunan mahasiswa hanya kelihatannya saja ramai-ramai rapat, tapi hasilnya nol. Jika mengutip kata-kata yang sering dipakai oleh beberapa teman saya adalah “berbuat tanpa esensi”. Ya, hanya membuang-buang waktu dan tidak efektif. Saya kemudian teringat juga bahwa produktif tidak sama dengan sibuk. Bukan berarti memiliki waktu yang lama untuk mengerjakan sesuatu itu lebih produktif daripada memiliki waktu sedikit tapi sudah menghasilkan output yang nyata.

Mahasiswa sekarang ini hanya kebanyakan rapat tapi hasilnya sedikit, menurut saya pribadi. Lha gimana hasilnya mau banyak, wong datangnya saja pada telat. Lalu kembali lagi pada nasihat sang dosen tadi, bahwa kelemahan organisasi saat ini karena tidak adanya kematangan jiwa organisatornya/kader-kadernya. Organisasi sebenarnya bukanlah penentu kesuksesan seseorang dan justru tidak berdampak sama sekali ketika kita tidak bisa memaknainya. Buat apa berorganisasi jika di dalamnya kita masih saja seperti yang dulu? Buat apa berorganisasi kalau hanya buang-buang waktu dan tidak mendapatkan esensi karena tidak profesionalnya orang-orang di dalamnya? Buat apa berorganisasi kalau kita tidak bisa belajar di dalamnya?

Satu catatan bagi tulisan ini adalah, bahwa semua yang telah ditarikan oleh jemari-jemari di malam yang syahdu ini adalah reminder pula bagi saya. Menjadi mahasiswa itu harus selalu ingat dengan tujuan awal. Saya yakin bahwa tujuan berkuliah kita semua ini adalah lulus menjadi wisudawan dan selanjutnya dapat mengamalkan ilmunya. Bagian paling akhir, kemudian akan dituliskan di paragraf berikutnya.

Sengaja saya memilih dua foto di atas sebagai penyemangat dan penggembira jiwa. Bahwa di sini saya tidaklah sendiri, melainkan bersama dengan kawan-kawan semua. Foto-foto itu menggambarkan betapa besarnya power kawan-kawan semua dalam menyongsong hidup yang lebih baik. Bahwa di dalam sebuah survei itu ada pembelajaran. Di dalam mengatur formasi untuk foto itu adalah pembelajaran. Selanjutnya, akhir kata, bahwa di dalam kebersamaan kita adalah pembelajaran 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.