Hari itu aku belajar banyak hal tentang kehidupan. Perjalanan yang hanya bejarak sekitar 5 km dari asrama ternyata menghasilkan banyak cerita yang menurutku begitu bermanfaat. Museum, adalah suatu tempat yang sebenarnya tidak begitu kusukai, apalagi museum lukisan. Ya, hari itu aku berkunjung ke sebuah museum yang terletak di Jalan Laksda Adi Sucipto, Yogyakarta. Museum Affandi, namanya.
Pertama kali memasuki museum lukisan dan temanku menyeletuk, “museum ini kesannya serem ya”, aku pun berpikiran seperti itu. Lukisan yang terpajang di setiap dinding menggambarkan betapa mahirnya Affandi dalam melukis. Beberapa lukisan dapat kutangkap tetapi kebanyakan hanyalah samar-samar yang aku terka. Memang kurasa hanya orang-orang yang paham lukisan lah yang bisa menikmati keindahan lukisan bahkan seabstrak apapun.
Beberapa menit kemudian setelah memasuki Galeri I, ada seorang pemandu museum yang menyapa kami. Menit berikutnya beliau bercerita banyak hal tentang lukisan-lukisan yang terpajang. Ternyata beliau adalah lulusan Fakultas Ilmu Budaya UGM, lebih tepatnya di Jurusan Arkeologi. Beliau merupakan cucu mantu dari seorang Affandi. Mengalir dalam cerita tentang lukisan tersebut, aku baru menyadari bahwa ciri khas Affandi adalah melukiskan gambar diri. Setelah diamati, salah satu teman di sampingku berkata lirih, “Affandi mirip Einstein”, hmm benar juga. Lukisan gambar diri yang banyak terpajang mengekspresikan berbagai kondisi emosional Affandi.
Lukisan yang paling mengesankan adalah lukisan tentang Kartika, putri Affandi dari istri pertama, Marlina, yang dibuat saat Kartika bertunangan. Kecantikan dan keanggunan Kartika inilah yang membuat lukisan tersebut begitu menyatu dengan karkter Affandi. Dari sinilah dapat dibuat simpulan bahwa pelukis yang juga sahabat Chairil Anwar, penulis puisi pujangga baru, merupakan sosok yang sangat memperhatikan keluarga. Sang pemandu menceritakan bahwa di dalam melukis, Affandi mengambil tema apa yang dilihatnya saat itu juga. Melukis merupakan kegiatan sehari-hari ibarat tiada hari tanpa melukis dan hidup adalah melukis. Affandi sangat produktif dalam melukis apapun yang dapat dijadikan lukisan walaupun dalam kadaan marah sekalipun.
Pendidikan Affandi yang bisa dibilang tidak terlalu tinggi, SMA B waktu itu, tidak membuat ia minder dalam melukis. Berbagai penghargaan diraihnya dan dipamerkan pula pada museum tersebut. Di masa tuanya, pelukis yang menyukai ikan itu mendapatkan gelar doktor. Hal ini pula yang membuktikan bahwa Affandi adalah pelukis yang sangat hebat dan ia selalu belajar. Lukisan-lukisan bernilai milyaran rupiah itu dibuat di beberapa lokasi di seuruh dunia. Affandi pernah ke Menara Eiffel kemudian melukisnya, pernah ke Prancis kemudian melukis, dan berbagai negara lainnya. Semangat pantang menyerahnya ini yang kemudian menyebabkan banyak orang dari luar negeri kagum padanya.
Jiwa seni Affandi ternyata tidak hanya ada pada dirinya, melainkan diturunkan kepada anak-anaknya. Salah satunya adalah Kartika, yang lukisannya terpajang di Galeri III. Dalam lukisannya, anak perempuan Affandi yang terdapat dalam beberapa lukisan, menggambarkan keindahan fenomena-fenomena alam. Indahnya bunga … terlukis dengan sangat memesona. Selain itu, lukisan yang dilukis pada tahun 2011 tentang kondisi sekitar Gunung Merapi pasca letusan tahun 2010, membuatku terheran-heran, bahwa pelukis itu mendapatkan idenya dari berbagai hal. Seniman memperoleh gagasan-gagasan yang sungguh luar biasa. Mungkin saja, sesuatu yang biasa akan menjadi luar biasa ketika diabadikan dalam lukisan. “Satu gambar mewakili banyak kata”, itulah yang bisa diambil dari sebuah lukisan. Hanya lukisan yang dilukis dengan jiwa, itulah lukisan yang dapat dirasakan keindahannya.
Bagiku, mahasiswa yang tidak tahu menahu tentang lukisan, hanya bisa berfoto dan mengambil berbagai manfaat lainnya, bukan dari lukisan itu, melainkan dari kehidupan penulisnya. Affandi telah mengajarkan konsep “menjadi diri sendiri” melalui lukisannya. Menyayangi keluarga, salah satu sifat yang dapat kuambil dari setiap lukisannya. Keluarga adalah segalanya, layaknya ia. Hidup sederhana merupakan kesehariannya. Ia hanya makan nasi dengan sayur bening dan tempe bakar geprek, dan yang penting selalu ada asap dari mulutnya. Ya, ia merupakan perokok ulung sampai akhir masa hidupnya. Affandi adalah pelukis yang sangat senang berpetualang keluar negeri dengan membawa iastri dan asistennya. Di sana ia melukis dan pulang membawa lukisan, dijual, dan bukannya untuk berbelanja, penghasilannya digunakan seperlunya, tak lupa peralatan dan bahan-bahan melukis menjadi prioritas utamanya.
Pelajaran hidup itu memang tidak bisa didapatkan hanya dengan menghafalakn teori-teori dan duduk manis di bangku kuliah. Perjalanan ke suatu tempat akan lebih membuat orang mudah memahami arti sebuah hidup. Tak lupa bahwa hidup itu sendiri merupakan sebuah perjalalanan, yang tidak selalu berjalan mulus. Seperti kemudian sekembalinya kami dari Museum Affandi, ban motor salah satu teman bocor saat hendak menuju Lesehan Aldan untuk menyambung kehidupan. Ya, akhirnya aku dan teman-teman makan bersama di tempat itu, tempat yang berbeda jauh dengan museum yang terkesan “mistis”, hehe.