Seperti yang sudah diri tuliskan di tulisan sebelumnya, bahwa pada kesempatan kali ini, di malam Ramadhan yang penuh berkah sengaja dituliskan tentang berbagai lika-liku kehidupan yang mengantarkan pada satu pilihan, Fakultas Geografi. Kala itu, masih teringat ketika pertama kali berkunjung ke UGM, tepatnya di Wisma Geografi bersama rekan-rekan dan guru pendamping yang kebetulan juga guru geografi. Suasana yang begitu nyaman selama tiga hari dua malam itu membuat diri merasa menemukan apa yang harus dan segera ditemukan. Ya, tepatnya tiga tahun lalu itu, penemuan akan keinginan memilih jurusan apa saat kuliah nanti terjawab sudah, alhamdulillah.
Waktu terus berjalan hingga tiba pada masanya pemilihan jurusan saat pendaftaran seleksi masuk pergururuan tinggi. Rasa syukur ketika ternyata diri ini lolos tahap seleksi pertama, yakni menjadi bagian dari tiga perempat persen siswa yang dapat mendaftar melalui jalur undangan tanpa tes. Entah mengapa, ternyata tiba-tiba saja, dalam kurun waktu yang tak sebanding dengan keinginan selama dua tahun itu, jurusan yang pada akhirnya didaftarkan adalah jurusan yang berada pada ranah medis. Ya, Fakultas Kedokteran. Antara ragu dan yakin, diri ini mantap dan tenang-tenang saja ketika memutuskan untuk mengambil jurusan itu. baru setelahnya, sambil menunggu pengumuman selama hampir kurang lebih satu bulan, pada malam-malam itulah diri ini diselimuti oleh bayang-bayang akan ketidaknyamanan dan ketidak-kuatan dalam menghadapi kuliah di jurusan yang diinginkan sekarang. Hal yang paling rumit yang pernah dialami dalam perang pemikiran ini adalah, antara memohon untuk lulus seleksi dan langsung memasuki jurusan itu, dengan konsekuensi penyesalan dan ketidaknyamanan, ataukah memohon untuk tidak lulus saja sehingga harus melakukan tes demi memasuki Jurusan Geografi Lingkungan.
Hari itu, suasana siang begitu bahagia. Sekitar pukul dua, mulailah untuk membuka pengumuman dan hasilnya adalah tidak lulus seleksi. Antara percaya dan tidak, seketika itu air mata mulai membasahi pipi. Rasa sesal kembali menyelimuti hati. Kini, senyuman yang menjadi harapan tak lagi ada di wajah ibu. Semua sesal, marah, kecewa, sedih, tumpah ruah disana. Khayalan dan mimpi-mimpi akan dunia perkuliahan seolah sirna seketika. Ibu langsung melarang diri berkuliah di UGM. Sementara sembari menangis, diri ini membuka buku latihan soal tes masuk perguruan tinggi. Seorang teman yang cukup dekat dengan diri, memberikan buku itu kala ia memutuskan untuk memilih masuk jurusan sosial humaniora. Tekad hati kembali menyala meski sambil menyeka air mata. Sambil menatap buku yang rumit berisi soal-soal, diri ini mantap untuk memilih jurusan pertama yakni, Jurusan Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi, UGM.
Terhitung hanya memiliki sisa waktu dua minggu untuk mempersiapkan semuanya. Hingga tibalah waktunya untuk bertempur. Masyaallah, beribu kebaikan dan rahmat dari-Nya telah mengantarkan diri pada beberapa pertemuan tak diduga. Perjuangan yang amat sangat berat untuk pertama kalinya. Berada diantara ribuan jiwa yang ingin mencapai dunia kuliah dan dari semuanya itu, hanya akan diambil beberapa ratus saja. Diri hanya bisa berdoa, “jika ini memang jalan hamba, maka Engkau pasti akan memudahnnya Ya Allah, Engkaulah yang Mahakuasa”.
Usai pekerjaan yang satu, maka pekerjaan berikutnya harus pula diselesaikan. Tak terasa, bulan Ramadhan 1347 H telah datang dan menemani diri dalam penantian itu. Sembari mempersiapkan tes di lain tempat, diperkirakan sekitar ba’da maghrib, telah tejadi bencana longsor yang menelan banyak korban jiwa dan kerugian harta benda. Jalan utama sebagai akses kami menuju Kota Purworejo dikabarkan terputus dan entah dapat dibangun lagi atau tidak. Listrik padam selama satu minggu karena memang seluruh tiang listrik di lokasi kejadian, roboh dan tertimbun tanah. Pikiran ini kembali bercampur aduk, mengingat empat hari lagi, tepatnya hari kamis, diri harus berada di Yoyakarta untuk mengikuti tes seleksi. Pikiran yang kacau ini disebabkan oleh rusaknya jalan-jalan sebagai akses utama menuju kota. Istilah yang lebih ekstrim adalah, desa kami terisolasi. Kalau saja bukan bapak dan ibu yang menguatkan dan terus mendukung diri, maka mungkin saja kegagalan kedua akan segera ditemui. Alhamdulillah, pada hari yang terjadwalkan, tes berjalan dengan lancar dan nantinya beberapa hari kemudian, diri dinyatakan lulus.
Ada kabar yang lebih membahagiakan. Ternyata sekitar satu minggu sebelum pengumuman hasil tes di Yogyakarta itu, keluar pengumuman hasil tes tertulis masuk perguruan tinggi negeri. Ya, aku diterima di jurusan impian yang tersimpan selama hampir kurang lebih dua tahun itu. Hari terus berganti dan dilalui dengan senyuman. Ditambah lagi dengan melihat sunggingan senyum di wajah ibu dan bapak, membuat hati ini semakin damai. Setidaknya, satu tahap sudah dilalui dengan lancar. Lantas, apa hubungan rentetan kisah ini dengan maksud yang ingin diri sampaikan?
Kembali kepada fakta yang sedang berjalan sekarang, wajar bila diri menemui berbagai kisah perjalanan yang “melelahkan”. Dunia kuliah yang sangat berbeda dengan apa yang dibayangkan. Berbagai cobaan datang menerpa, mulai muncul rasa tidak suka, rasa ingin “enyah” saja, dan rasa-rasa lain yang hanya memusingkan kepala. Ditambah lagi dengan kondisi raga yang sering merasa lelah dan jiwa yang cepat merasa bosan. Andai tidak ada pertolongan-Nya, mungkin saja akan segera “selesai” urusannya.
Bertahan, adalah satu kata yang cukup menelisik batin. Pertanyaan yang pernah dilontarkan oleh salah satu kawan, “kenapa kalian bertahan?”. Nah, sekarang inilah jawabannya. Langkah awal masuk kuliah, entah mengapa berbagai kebahagiaan datang begitu saja. Diri merasa bahwa banyak sekali keberkahan ketika memasuki fakultas ini. Bertemu dengan orang-orang yang luar biasa. Berkenalan dengan berbagai karakter insan-insan pilihan-Nya. Menemukan sosok inspirasi yang merupakan isi dalam setiap doa beberapa tahun yang lalu. Menemukan lingkungan yang nyaman, tempat tinggal yang nyaman, dan menemukan tempat menimba ilmu baik dunia maupun akhirat dengan sangat luar biasa.
Terkadang, terbetik dalam diri rasa kecewa dan penyesalan karena ternyata apa yang terjadi tidak sesuai yang diharapkan, apa yang dikira tidak senyatanya. Namun, mencoba ikhlas dan menerima itu semua sebagai sebuah konsekuensi akan lebih membuat diri lebih bersabar dan berusaha menikmatinya. Rentetan kisah-kisah yang tertulis di atas itulah yang kemudian akan selalu mengingatkan diri akan sebuah perjuangan. Betapa tidak mudah untuk memasuki “dunia” ini. Dunia yang merupakan impian bagi hampir seluruh anak muda setelah lulus dari sekolah menengah atasnya. Akan tetapi, ternyata tidak semua dapat meraihnya dan hanya orang-orang tertentu saja, bukan? Dan kini, diri termasuk salah satunya. Bukankah ini adalah anugerah terbesar dan terindah? Bukankah patut untuk disyukuri? Alhamdulillah, inilah yang merupakan penguat jiwa dan raga untuk terus berpacu, melangkahkan kaki demi menatap masa depan yang lebih baik. Membahagiakan orang-orang tercinta yakni kedua orang tua. Membanggakan orang-orang yang berada di sisi diri, yang telah membantu baik dalam bentuk doa maupun materi, hingga yang paling memuncak adalah merupakan penunaian kewajiban kepada Sang Ilahi.
Sekarang, merupakan saat dimana perjuangan berada pada pendakian bagian depan sebuah gunung. Merajut asa menuju terwujudnya cita-cita yang sudah disimpan sejak lama. Meski hambatan dan rintangan datang menerpa, diri semoga selalu diberi kekuatan dalam mengarunginya. Tak apa, jika nanti semua tak lagi sesuai harapan dan impian, akan tetapi yang terbaik itulah yang dinantikan. Tak apa, jika ada saatnya mungkin banyak terjatuh dan kecewa, tak apa. Semoga ada saatnya semangat itu dapat dimunculkan kembali dan mengisi ruang-ruang yang kosong untuk berprestasi.
Bertahan, semoga menjadi awal dari ketekunan dan berbuah kedamaian. Bersama sahabat-sahabat yang selalu setia menemani dan mengingatkan akan kesalahan diri, bersama doa-doa orang tercinta, semoga Dia selalu memberi kekuatan pada diri yang lemah ini. Lantas jika suatu saat nanti telah selesai, semoga pula semangat untuk selalu menimba ilmu akan selalu ada. Seperti torehan impian pada buku itu, yang juga telah dikabarkan ke berbagai insan, semoga dapat terwujud meski entah jalannya nanti akan seperti apa. Pada akhirnya, inilah suatu tulisan yang untuk pertama kalinya sebagai kisah yang benar-benar nyata. Kisah yang akan selalu mengingatkan diri akan Kuasa-Nya dan tulisan yang akan menjadi kenangan perjalanan mendaki bagian depan sebuah gunung di lerengnya.