Hari demi hari kujalani. Rasa lelah kadang menyangkut sampai ke dalam hati, hinga rasanya malas melakukan sesuatu. Pernah suatu hari aku bermimpi, bahwa aku akan menjadi orang yang sukses, terpandang, terpuji, dan disegani orang lain. Aku sangat bersemangat dalam mengarungi hari-hari yang dibalut dalam kuliah, membaca di perpustakaan, main sama teman-teman, mengerjakan tugas, dsb. Akan tetapi, kala futur itu datang, semuanya menjadi kacau. Hidupku berubah 180 derajat dan sekadar menyapa teman saja tak mau. Apakah kalian juga pernah merasakan hal yang sama sepertiku, kawan?
Aku tidak menyangka dapat berkuilah di kampus yang megah ini. Kampus sejuta impian yang aku idam-idamkan sejak lama. Bahkan, kampus ini juga yang memberiku semangat melakukan perubahan. Meski harus terseok-seok lebih dahulu sebelum memasukinya, merangkak dari keterpurukan, dan berusaha bangkit ketika jatuh, aku akhirnya berhasil berdiri disini bersama ribuan pejuang. Kampus ini sungguh sangat besar, bukan? Mahasiswanya saja tidak hanya dari lokal melainkan intenasional. Namun, tetap saja ada hal yang berbeda ketika aku memasukinya, kawan. Ada perasaan-perasaan yang mengkhawatirkan hati ketika mencoba masuk lebih dalam.
Bukankah dunia perkuliahan itu kejam, kawan? Bahkan “dunia” ini bisa membuat anak lupa pada bapak ibunya, murid lupa dengn gurunya, dan manusia lupa akan Rabb nya. Entah kenapa meski aku harus berjuang setiap hari, menyusuri sudut-sudut kampus utama yang elok, aku merasa sangat senang. Aku bisa berpikir dengan bebas dan mengkhayal dengan puas disana. Perjalanan telah mengantarku kepada arti sebuah perjuangan, tetes keringat kedua orang tua, dan sebuah perubahan dalam hidup. Seandainya ini bukan takdir-Nya, aku yakin saat ini aku tidak menuliskan ini. Menuliskan rangkaian cerita yang penting untuk ditulis, sebagai bukti perjalanan hidup manusia menuju pencarian jati diri.
Meski sudah bukan saatnya untuk mencari jati diri, remaja seusiaku yakni 19 tahun ternyata masih banyak yang ingin mengenali dirinya sendiri. Belum bisa mengambil keputusan ingin dibawa kemana hidupnya dan belum menetapkan tujuan untuk apa dia berkuliah. Kami berempat memulai kisah ini dengan berdiskusi. Entah mengapa kala itu kebetulan saja kami duduk bersama, sembari menunggu suasana hati yang nyaman untuk mengerjakan tugas masing-masing. Akhirnya, kami berbincang cukup panjang, memperkenalkan diri, menjelaskan kekurangan dan kelebihan, serta yang paling unik, menceritakan cita-cita. Singkat cerita, kami berempat menjalin sebuah hubungan berupa partner diskusi dalam segala hal, baik tentang kuliah, kehidupan kampus, kehidupan sehari-hari, bahkan sampai masalah hati.
Selalu ada yang berbeda ketika diskusi berjalan. Selalu ada semangat baru ketika masing-masing kami menyalurkan ide dan sudah barang tentu sambil mengisi kekosongan relung hati. Kami berjalan sendiri-sendiri dengan kesibukan masing-masing. Lantas, yang kami tungu-tunggu adalah ketika malam minggu itu datang, bukan apa-apa yang kami lakukan, cukup sederhana, memulai dengan membuka grup dan membaca atau menulis “yuk diskusi”. Itulah momen-momen bahagia ketika kami bisa saling tukar pengalaman, keluh kesah, rasa lelah, suasana hati, dan perasaan-perasaan lain yang berkecamuk dalam diri. Aku senang, bisa melihat kalian tertawa, bisa melihat kalian berhasil melawan ego, mencoba meredam emosi, dan keluar dari zona nyaman.
Sudah barang tentu, manusia memiliki kelemahan. Pun seperti saat kalian mengalami keraguan dalam melangkah, menemui kesulitan dalam pencarian jati diri, dan merasa bersalah ketika menyampaikan kebenaran, aku pun demikian, kawan. Sebagai mahasiswa yang seharusnya mampu berbuat lebih dibanding orang lain dan siswa, aku merasa saat ini hanya bisa menyandang status tersebut. Menyandang berarti bahwa belum ada apa-apa yang bisa dilakukan untuk berkontribusi. Namun, bukankah memang manusia itu diciptakan berbeda? Setiap diri kita memiliki kelebihan dan kelemahan, bukan? Bukankah Allah juga sudah mengatakan bahwa kerjakanlah semaksimalnya. Semampu kita dapat mengerjakan sesuatu, maka kerjakanlah. Jangan pernah takut dan ragu untuk menentukan jalan, kawan. Karena sesungguhnya hidup ini adalah proses. Seperti aliran sungai yang seringkali menemui jurang nan tajam, batu-batu besar, tebing-tebing yang kokoh, sehingga mau tidak mau, harus berani menerjang dan mengerosi membentuk bentukan yang baru, yakni adalah diri kita yang “baru”. Bukan berarti kita yang berbeda dari yang dulu, akan tetapi kita yang mampu menyesuaikan kapasitas diri dalam segala situasi. So, Tetap semangat, kawan!!!