Mahasiswa adalah mereka yang telah menyelesaikan jenjang studi Sekolah Mengengah Atas (SMA). Rata-rata memiliki rentang umur 18-21 tahun. Jenjang waktu ini merupakan masa-masa dimana ia bisa menentukan pilihan hidup dan sudah beranjak dewasa. Seharusnya mahasiswa mampu melakukan apa-apa yang menjadi keputusan hidupnya dan mulai mengamati lingkungan sekitar. Akan tetapi, bagaimana apabila mahasiswa tersebut justru takut untuk menapaki hari-harinya? Bagaimana jika mahasiswa justru belum memiliki keputusan yang akan dilakukan? Bagaimana jika mahasiswa takut untuk berbicara, mengemukakan pendapat, dan berbaur dengan lingkungan sekitar?
Setiap orang memiliki watak dan karakteristiknya masing-masing. Setiap orang diberikan anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa berupa kepandaian akal dan kecerdasan pikiran. Apalagi sebagai seorang mahasiswa tentu saja ia memiliki kecerdasan yang lebih dari orang lain yang tidak memiliki kesempatan menjadi mahasiswa. Setidaknya, menjadi mahasiswa dilatih untuk berpikir secara rasional dan logis. Mahasiswa dididik untuk menyelesaikan permasalahan bangsa bukan untuk menjadi budak pendidikan, bukan?
Karakteristik mahasiswa yang tidak bisa disamakan secara merata menuntut adanya kepahaman dan saling toleransi terkait ciri khas kepribadiannya. Bagaimana mungkin seorang mahasiswa Introvert diajak untuk berorganisasi secara intensif dan bagaimana mungkin mahasiswa Ekstrovert diharuskan selalu merenungi dirinya. Keresahan ini berawal dari bagaimana seharusnya universitas memanusiakan mahasiswa?
Mahasiswa memiliki kelebihan dan kekurangan yang dengannya ia mampu melakukan hal yang terbaik dan hal yang terburuk. Mahasiswa memang baru anak kemarin sore yang belum tahu apa-apa. Akan tetapi setidakanya ia juga memiliki pemikiran dan tentu membutuhkan perhatian serta apresiasi terkait keberanian dalam mengkaji suatu persoalan, memberikan kritik, saran, dan mengungkapkan semua hal yang mejadi uneg-unegnya.
Justru yang dipermasalahkan disini seharusnya bagaimana jika mahasiswa tidak berani berpendapat, berbicara di depan umum, dan bahkan takut untuk bertemu dengan orang lain? Mahasiswa seperti inilah yang seharusnya juga menjadi fokus perhatian dalam sistem pendidikan di universitas. Organisasi yang berlebihan bukanlah penentu keberhasilan lulusan sarjana pun IPK yang bagus. Tolak ukur kesuksesan seorang mahasiswa ya berasal dari mahasiswa itu sendiri, ketika ia merasa bahwa dengan menjadi mahasiswa ia dapat merasakan manfaat baik bagi dirinya, keluarga, dan lingkungan. Setidaknya, apabila ia belum berhasil memberikan kontribusi di masyarakat, ia telah memberikan kontribusi bagi pengembangan dirinya.
Memahami persoalan negeri bukanlah suatu hal yang mudah. Diperlukan waktu panjang dan kajian-kajian yang tidak membutuhkan energi yang sedikit. Mahasiswa dengan segala tuntutan akademik terkadang merasa malas untuk membahas hal yang demikian. Terkadang mereka juga takut untuk berpendapaat karena petinggi-petinggi selalu menyalahkan mahasiswa. Pemerintah yang ada seringkali tidak mendukung berbagai pergerakan mahasiswa, lantas kapan negara ini akan maju? Apa memang majunya sebuah negara hanya ditentukan oleh pemimpinnya? Ah, pemimpin. Apakah memnag benar-benar pemimpin atau malah bos?
Pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu melayani semua anggota yang dipimpin. Namun, seringkali yang terjadi di negara ini justru sebaliknya. Pemimpin lebih cenderung bertindak dengan sifat otoriternya dan mengabaikan hal-hal kecil yang dirasakan warga negaranya. Indonesia dengan luasnya wilayah memiliki perbedaan yang sangat banyak, tentu akan menguras energi pemimpin apabila tidak ada kesadaran dari mereka dalam rangka memberikan pemahaman kepada seluruh warga negara tentang apa tujuan ia memimpin dan bagaimana arah kepemimpinannya kepada muara kemakmuran negara.
Penduduk Indonesia yang terdiri dari kurang lebih 256 juta jiwa merupakan manusia-manusia yang tentu memiliki kepribadian dan karakteristik individu yang berbeda-beda. Apalagi kondisi ini juga dipengaruhi oleh tempat tinggal mereka yang bahkan setiap jarak 1 km telah berbeda, apalagi antarpulau, yang dipisahkan oleh laut-laut. Sangat wajar apabila negara ini sulit berkembang. Laut sebagai pemersatu bangsa hanya akan menjadi kata-kata belaka jika tanpa diiringi sebuah usaha yang benar-benar dapat menyentuh jiwa setiap individu warga negara. bagaimana mereka dapat berkontribusi untuk negara sedangkan mengetahui visinya saja tidak?
Hal inilah yang jika kita kembali pada persoalan mahasiswa, akan terdapat sebuah akar permasalahan yang sama. Mahasiswa diibaratkan menjadi warga negara yang dituntut untuk menaati setiap peraturan kampus. Mahasiswa yang dengan para petinggi-petinggi kampus sama halnya seperti warga negara dengan para pimpinanya. Ya, disini memang mahasiswa juga warga negara, akan tetapi karena kesehariannya berada di kampus sehingga dapatlah dikatakan bahwa ia juga berada di bawah naungan kampus.
Mahasiswa juga memiliki rasa, karsa, dan cipta yang berhak untuk dihargai, diluruskan bukan disalahkan, dan dibimbing bukan dibuat bimbang. Mahasiswa merupakan titipan negara yang diamanahkan kepada universitas agar dididik dengan baik dengan sebuah sistem pendidikan yang baik pula tentunya. Bukan hal yang mudah memang. Untuk menciptakan sebuah sistem pendidikan yang baik dan sesuai dengan cita-cita bangsa itu sendiri memerlukan waktu yang panjang dan ide-ide kreatif dari seluruh elemen masyarakat. Jika kita masih saja terkungkung dengan cara-cara tradisional, maka kapan kita akan berubah? Kapan negara ini akan berjaya? Bahkan dengan adanya bonus demogafi di tahun 2025-2030 pun belum tentu dapat menjadi bonus bahkan bisa jadi malapetaka bagi diri kita. Jika mahasiswa adalah pemuda dan diakui sebagai pemuda, biarkanlah ia berjalan sesuai keinginan mereka masing-masing dengan tetap mengontrolnya, bukan justru sebaliknya menciptakan suatu atmosfer pendidikan yang kesannya hanya memperbudak mahasiswa.
sumber gambar: kompasiana.com